IBADAH MALIYAH
Manusia tidak akan pernah lepas dari
harta karena harta merupakan kebutuhan bagi manusia. Dengan harta
manusia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya primer, sekunder atau
tertier. Selain untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup, dengan harta manusia bisa beribadah kepada Allah.
Harta menjadi alat bagi seseorang untuk mengabdikan dirinya kepada Allah.
Ibadah dengan harta ini lazim disebut ‘ibādah māliyah.
A. Pengertian Ibadah
Maliyah
Ibadah
maliyah adalah amalan-amalan ibadah yang
lebih banyak dilakukan dengan sarana harta benda atau ibadah yang diwujudkan
dalam bentuk pemberian harta atau terkait dengan harta : Yaitu menggunakan
harta yang Allah karuniakan untuk apa-apa yang Allah cintai dan ridhai. Seperti zakat, infaq dan shodaqoh, dll.
B.
Macam-Macam Ibadah Maliah
1.
Zakat
Zakat merupakan istilah untuk ibadah harta
yang hukumnya wajib dan ketentuannya sudah termaktub dalam al-Quran dan Hadits.
Infaq merupakan istilah ibadah harta yang hukumnya wajib
tetapi ketentuannya tidak dibuat oleh Allah dan Rasulullah. Dan, shadaqah
adalah sebutan untuk ibadah harta yang hukumnya sunat.
Khusus tentang infaq, infaq wajib adalah infaq dari penghasilan yang tidak
dikenai kewajiban zakat.
Misalnya, para staf, karyawan, PNS, atau pegawai lainnya yang memiliki
penghasilan. Semuanya kena wajib infaq. Hanya ada dua hukum dalam ibadah maliyah ini, yaitu
wajib dan sunat. Menurut para ulama, wajib adalah:
مَايُثَابُ
عَلَى فِعْلِهِ وَيُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ
“Sesuatu yang diganjar jika
mengamalkannya dan disanksi jika meninggalkannya”
Sedangkan sunat adalah:
مَايُثَابُ
عَلَى فِعْلِهِ وَ لاَ يُعَاقَبُ عَلَى تَرْكِهِ
“Sesuatu yang diganjar jika
mengamalkannya dan tidak disanksi jika meninggalkannya”
Letak perbedaan kedua hukum tersebut adalah adanya reward (pahala) dan punishment (adzab).
Mengamalkan yang wajib, mendapat reward dan meninggalkannya mendapat punishment.
Mengamalkan yang sunat memperoleh reward tetapi meninggalkannya tidak
diberi punishment.
Kata zakat merupakan isim mashdar dari kata zakā yang berarti
berkah, tumbuh, bersih dan baik. Sedangkan menurut istilah para ulama, zakat adalah:
إِعْطَاءُ
جُزْءٍ مَخْصُوْصٍ مِنْ مَالٍ مَخْصُوْصٍ بِوَضْعٍ مَخْصُوْصٍ وَبَعْضِهَا فِى
أَوْقَاتٍ
مَخْصُوْصَةٍ لِمُسْتَحِقِّهِ
“Memberikan sebagian yang khusus,
dari harta yang khusus, dengan ketentuan yang khusus, dan sebagiannya
disalurkan pada waktu yang khusus, untuk yang berhak menerimanya”.
Sebagaimana
definisi tersebut, ada 5 unsur utama dalam zakat, yaitu:
1. Sebagian harta,
tidak seluruhnya
2. Harta yang
dizakati adalah harta yang khusus (telah ditentukan) misalnya harta perdagangan
(tijarah)
3. Ada ketentuan
yang khusus dalam standar ukuran misalnya zakat perdagangan adalah 2,5 % dari
modal
4. Sebagian
didistribusikan pada waktu tertentu seperti halnya zakat fitrah dan zakat emas
sebagai simpanan
5. Zakat hanya
untuk mustahik yang sudah ditentukan (Q.S. at-Taubah [9]: 60).
2.
Infaq
Infaq berasal dari kata nafaqa yang berarti
telah lewat, berlalu, habis, mengeluarkan isi, menghabiskan miliknya, atau
belanja.
Menurut istilah, infaq adalah:
إِخْرَاجُ
الْمَالِ الطَّيِّبِ فِيْ الطَّاعَاتِ وَالْمُبَاحَاتِ
“Mengeluarkan harta yang thayib (baik)
dalam ketaatan atau hal-hal yang dibolehkan”
Perbedaan antara infaq dengan zakat terletak pada standar ukuran, waktu dan
mustahik. Jika zakat sudah tertentu sebagaimana lima unsur utama zakat, maka
infaq tidak ditentukan standar ukuran, waktu penunaian, dan mustahiknya tidak
terpaku sebagaimana dalam Q.S. at-Taubah (9) ayat 60.
3.
Shadaqah
Pengertian Shadaqah
Ibadah harta pada umumnya disebut shadaqah. Shadaqah yang wajib dan ditentukan
standar pelaksanaannya disebut zakat. Shadaqah yang wajib tapi tidak ditentukan standar
pelaksanaannya disebut infaq. Adapun shadaqah yang sunat disebut dengan kata
shadaqah itu sendiri.
Shadaqah bersal dari kata ash-shidqu yang berarti benar, jujur. Falsafahnya, shadaqah merupakan
bukti bahwa seseorang memiliki keyakinan (aqidah) yang benar, jalan hidup
(syariah) yang benar dan prilaku (akhlak) yang benar. selain itu, shadaqah
merupakan manifestasi kejujuran seseorang dalam kepemilikan harta.
Menurut istilah, shadaqah adalah:
مَا
تُعْطَى عَلَى وَجْهِ التَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ تَعَالَى
“Sesuatu yang diberikan untuk
mendekatkan diri kepada Allah ta’ala”.
Jika zakat dan infaq sudah ditentukan jenisnya seperti uang, emas,
perak, perdagangan, hewan ternak, dll., maka shadaqah tidak demikian. Shadaqah
boleh dengan barang-barang sebagaimana disebut, bisa juga dengan tenaga,
fikiran dan lainnya. Bahkan, wajah sumringah dan senyuman pun bisa bernilai
shadaqah.
Seluruh Kebaikan itu Shadaqah
Rasulullah saw. bersabda,
كُلُّ
مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ
“Setiap kebaikan itu bernilai shadaqah” (H.R. Bukhari)
Wajah Sumringah itu Shadaqah
Dalam hadits yang lain, Rasulullah
bersabda,
لاَتَحْقِرَنَّ
مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ اَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah kamu menyepelekan kebaikan
sedikitpun walaupun kamu bertemu saudaramu dengan wajah sumringah” (H.R. Muslim).
Senyum itu Shadaqah
تَبَسُّمُكَ
فِى وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyumanmu terhadap wajah saudaramu
bernilai shadaqah untukmu” (H.R.
Ibnu Hibban).
4.
Fidyah
Fidyah
adalah menempatkan sesuatu pada tempat lain sebagai tebusan (pengganti) nya,
baik berupa makanan atau lainnya. Fidyah juga berarti kewajiban manusia
mengeluarkan sejumlah harta untuk menutupi ibadah yang ditinggalkannya. Fidyah
shaum wajib dilakukan oleh seseorang yang tak sanggup karena kepayahan dalam
melakukan shaum fardhu khususnya di bulan Ramadhan, sebagai salah satu bentuk
rukhsah (dispensasi) yang diberikan Allah kepada mereka. Karena Allah SWT tidak
membebani hamba-hamba-Nya melainkan sesuai dengan kemampuannya.
Selain
itu juga Allah tidak pernah menjadikan syari’at yang diturunkan-Nya menyulitkan
hamba-hamba-Nya. Landasan normatif yang dititahkan Allah SWT mengenai hal ini
adalah firman-Nya dalam Al Qur’an: dan wajib bagi orang-orang yang berat
melakukan shaum (jika mereka tidak shaum) memberi fidyah, yaitu dengan memberi
makan satu orang miskin. (Q.S. Al Baqarah, 2:184). Hukum fidyah, sebagaimana firman
Allah SWT di atas adalah wajib, apabila :
1. Tidak mampu melakukan shaum, seperti
karena lanjut usia.
2. Orang sakit permanen yang
kesembuhannya sangat sulit.
3. Perempuan hamil atau perempuan yang
sedang menyusui (yang bersangkutan boleh memilih antara qadha shaum atau
fidyah).
4. Jumlah fidyah adalah sejumlah
makanan yang dikonsumnsi yang bersangkut pada bulan Ramadhan. Setiap hari tidak
puasa diganti dengan fidyah makan sehari untuk seorang miskin.
5.
Kifarat
Kifarat sumpah (bersumpah palsu),
salah satu caranya adalah dengan memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa diberikan kepada keluarga sendiri atau memberi pakaian
kepada mereka atau memerdekakan sorang hamba sahaya. Dalam hadits riwayat
Muslim juga diterangkan bahwa kifarat nadzar yang tidak dapat dilakukan sama
dengan kifarat sumpah.
Kifarat shaum (sebagai akibat
melakukan pelanggaran shaum, melakukan jima atau persetubuhan pada siang hari
bulan Ramadhan bagi mereka yang wajib melakukan shaum Ramadhan), selain bisa
dengan memerdekakan hamba sahaya, bisa juga dengan melakukan shaum selama dua
bulan berturut-turut, tertapi juga bisa dengan memberi makan kepada enam puluh
orang fakir miskin.
Kifarat zhihar (mengharamkan istri
dengan mempersamakannya dengan ibu sendiri), adalah dengan memberikan makan enam
puluh orang miskin, selaian itu bisa juga dengan memerdekakan hamba sahaya atau
melakukan shaum selama dua bulan berturut-turut. Pelaksanaan atau
pemenuhan kifarat zhihar diwajibkan kepada suami sebelum kembali (melakukan
senggama) lagi kepada istrinya.
Kifarat membunuh (tak sengaja)
adalah dengan memerdekakan hamba sahaya atau diganti dengan puasa enam puluh
hari bertutur-turut atau dengan memberi makan enam puluh fakir miskin ditambah
dengan kewajiban membayar diyat, semacam uang duka kepada keluarga yang
terbunuh. Pemberian diyat (pembayaran sejumlah harta kepada keluarga korban)
ditetapkan sesuai dengan kesepakatan, karena sesuatu tindakan menghilangkan
nyawa ssesorang dengan tidak sengaja, juga sebagai tebusan bila ada maaf dari
pihak keluarga terbunuh. Untuk pembayaran diyat, tidak terikat dengan ketentuan
mesti konsumtif, mungkin saja bersifat produktif dan monumental.
6.
Kurban/Udhiyyah
Udhiyyah
adalah menyembelih binatang tertentu pada Hari Raya Qurban (Idul Adha) atau
Hari Tasyriq (11,12 dan 13 Dzulhijjah) dengan niat taqarub atau qurban
(mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Udhiyyah (qurban) sebenarnya sudah menjadi
syari’at para Nabi dan Rasul Allah. Setiap Nabi melakukan ibadah qurban. Putra
Nabi Adam as (Qabil dan Habil) pernah melakukan ibadah qurban.
Yang
diabadikan secara khusus adalah qurban yang menjadi syari’at Allah SWT yang
dibawa Nabi Ibarahim as. Kemudian syari’at itu dilestarikan menjadi syari’at
Nabi Muhammad saw atas legitimasi dan perintah Allah SWT yang diabadikan-Nya
dalam al Qur’an surat Al Kautsar, 108:2. Syarat-syarat berqurban/udhiyyah :
1. Waktu pelaksanaan qurban/udhiyyah
pada Hari raya Adha/Qurban (10 Dzulhijjah) setelah shalat sunnat Idul Adha dan
Hari Tasyriq (11,12 dan 13 Dzulhijjah).
2. Binatang qurban ialah unta, sapi
atau kerbau, kambing, biri-biri atau domba. Binatang-binatang tersebut
hendaknya :
a.
Tidak cacat
(cacat mata, sakit, pincang, kurus dan tak berdaya, rusak/pecah sebelah
tanduknya atau telinganya).
b.
Bulu
binatang (kambing) lebih disukai yang berwarna putih mulus atau bulu mulutnya,
bulu kakinya dan bulu di sekitar matanya berwarna hitam.
c.
Sudah
berumur satu tahun. Bila kesulitan mendapatkan binatang berumur satu tahun
boleh kambing jadza’ah (berumur sekitar 9-11 bulan, tetapi gemuk, sehat tanpa
cacat).
d.
Dilakukan
sendiri setelah usai melaksanakan shalat sunat Idul Adha.
e.
Satu ekor
kambing berlaku untuk satu orang atau satu keluarga.
f.
Satu ekor
unta atau sapi atau kerbau berlaku bagi 7 orang.
7.
Aqiqah
Aqiqah adalah binatang (kambing atau
domba) yang disembelih dalam rangka menyambut anak yang baru dilahirkan. Aqiqah
dilaksanakan pada saat bayi berumur 7 hari, sekaligus dicukur habis rambutnya
(digunduli kepalanya) dan disyi’arkan namanya. Apabila pada hari ke 7 tidak
bisa dilaksanakan aqiqah, boleh diundurkan sampai hari
ke 14 atau hari ke 21. Pelaksanaan aqiqah setelah waktu
tersebut menjadi ihtilaf para ulama. Ada yang berpendapat, bahwa aqiqah tetap
dianjurkan, akan tetapi ada pendapat lain yang menyatakan tidak usah
dilaksanakan, lebih baik berkurban saja pada tanggal 10 Dzulhijjah atau pada
hari-hari tasyriq (11, 12 dan 13 dzulhijjah).
8.
Al-Hadyu
Al-Hadyu adalah melakukan
penyembelihan binatang ternak (domba) sebagai pengganti pekerjaan wajib haji
yang ditinggalkan, atau sebagai denda karena melanggar hal-hal yang terlarang
mengerjakannya dalam prosesi ibadah umrah atau haji atau bagi mereka yang
memiliki kemampuan melakukannya, atau bagi mereka yang melakukan
pelanggaran-pelanggaran terhadap larangan-larangan tertentu dalam ibadah haji.
Al-Hadyu juga bisa mencakup segala
bentuk penyembelihan binatang yang dilakukan di Tanah Haram, baik sebagai
pemenuhan dam, maupun karena hal-hal lainnya seperti nadzar atau qurban. Bagi
mereka yang melakukan Haji Tamattu (mendahulukan umrah sebelum haji) atau haji
Qiran (melaksanakan haji dan umrah secara bersama-sama) wajib melakukan
alhadyu. Kalau tidak melakukan alhadyu, maka wajib berpuasa 10 hari, yang
pelaksanaan puasanya 3 hari di tanah Suci dan 7 hari di luar tanah suci.
9.
Dam
Dam adalah menyembelih binatang
tertentu sebagai sangsi terhadap pelanggaran atau karena meninggalkan
sesuatu yang diperintahkan dalam rangka pelaksanaan ibadah haji dan umrah atau
karena mendahulukan umrah daripada haji (haji tamattu) atau karena melakukan
haji dan umrah secara bersamaan (haji qiran). Dam juga diidentikkan dengan
alhadyu, sekalipun tidak selalu sama.
Dalam suatu hal alhadyu bisa lebih
umum daripada dam dan dalam hal lain dam bisa lebih umum daripada alhadyu. Dam
dilakukan bukan untuk membuat sesuatu yang rusak (batal) menjadi sah atau yang
kurang menjadi lengkap. Dam dilakukan sebagai salah satu bentuk ketaatan kepada
Allah SWT sekaligus juga sebagai salah satu bentuk penghapusan atau kifarat atas
pelanggaran dalam pelaksanaan ibadah dan atau umrah.
C. Urgensi Ibadah Maliyah
Ibadah maliah sangat penting dilihat dari berbagai segi,
antara lain: pertama, membersihkan harta dari kotoran kebakhilan, keserakahan,
kekejaman dan kezaliman terhadap kaum fakir miskin. Kedua, adalah berfungsi
ekonomi, membantu makanan bagi yang miskin atau memerlukan, Ketiga,
memiliki fungsi sosial, dengan
memberikan zakat kepada fakir miskin bisa menjaga keseimbangan hidup atau
kesenjangan dan menghindari ketidak adilan sosial. Memupuk rasa kasih sayang
dan kecintaan orang kaya (aghniya) kepada yang tidak memiliki harta sehingga
terjalin keterpaduan antara orang miskin dan orang kaya, karena kalau telah
terjadi keterpaduan diantara keduanya, mudah-mudahanan bisa mengantisipasi dan
akan mengikis segala bentuk kejahatan yang bisa terjadi dalam masyarakat akibat
kesenjangan dan ketidakadilan sosial.
Dalam Al-Qur'anil karim, zakat dan shalat
banyak sekali dijadikan dalam satu ayat. Jadi artinya digandengkan. Ini
menunjukkan bahwa urgensi zakat sama dengan urgensi shalat. Abu
Bakar Shiddiq yang biasanya kebijakan-kebijakannya selalu lunak, pada saat ada
kasus sejumlah umat Islam yang rajin shalat tetapi tidak mau membayar zakat,
kontan beliau melakukan sebuah sikap yang sangat keras dengan sumpah,
"Demi Allah. Saksikan oleh kalian, demi Allah, saya akan berperang dengan
orang-orang yang sudah rajin shalat, tetapi tidak mau membayar zakat."
Mungkin karena kebijakan ini dan sikap Abu Bakar yang begitu tegas, mereka
segera membayar zakat. Perintah itu ditujukan kepada para penguasa
Muslim untuk turut campur, supaya memerintahkan kepada umat Islam yang wajib zakat
mengeluarkan zakat. Allah SWT. berfirman dalam sebuah hadits qudsi.
"Anfiq, unfiq." (Infakkan hartamu ! Keluarkan zakatmu ! Allah
yang akan menggantinya.) Barangsiapa yang membuka keran rezeki untuk
kepentingan agama dan kemanusiaan. Allah akan membuka keran rezeki yang
lebih besar, kontan di dunia sekarang. Nabi SAW. menyatakan, tidak akan
berkurang harta karena sedekah dan zakat, dijamin tidak akan ada
orang menjadi sengsara gara-gara infak dan zakat, tidak akan ada
orang menjadi menderita gara-gara infak dan zakat. Barangsiapa
yang memberikan infak atau zakat atau sedekah kepada orang
yang memerlukannya, berarti dia lelah menghutangkan sesuatu kepada Allah. Allah
yang bertanggung jawab untuk membayarnya.
D. Hikmah Ibadah Maliyah
Ibadah maliyah
membawa berkah baik kepada orang miskin selaku penerima maupun orang
kaya atau para agniya, diantara hikmahnya:
1. Pertama, bagi si kaya, sesuai dengan
fungsinya, sebagai pembersih harta,
selain juga pembersih hati tuthohhiruhum watuzaqqiihim bihaa.
Jadi dengan berzakat,
harta itu menjadi bersih dari hak-hak orang lain yang dititipkan oleh Allah
kepada orang kaya.
2. Kedua, bisa membersihkan hati dari
penyakit tamak, rakus, kikir, dan serta
penyakit-penyakit hati lainnya. Jadi
zakat
memiliki satu kekuatan transformatif dalam menyuburkan sifat-sifat kebaikan
dalam hati muzakki.
3. Memberikan zakat atau infaq dan lainnya kepada fakir miskin
bisa menjaga keseimbangan hidup atau kesenjangan dan menghindari ketidak adilan
sosial.
4. Memupuk rasa kasih sayang dan
kecintaan orang kaya (aghniya) kepada orang miskin sehingga terjalin keterpaduan antara orang
miskin dan orang kaya.
5. Mengikis segala bentuk kejahatan
yang bisa terjadi dalam masyarakat akibat kesenjangan, kecemburuan dan
ketidakadilan sosial.
E.
Makna Spritual Ibadah Maliah Bagi Kehidupan Sosial
Harta
yang dititipkan Allah kepada manusia harus dijadikan sebagai bekal beribadah
kepada Allah SWT. Banyak harta, harus mendorong seseorang untuk lebih banyak
beribadah kepada-Nya. Harta yang dijadikan sebagai bekal
dan sarana ibadah, berarti harta yang bermanfaat dan akan membuahkan berkah
kepada harta dan kehidupan yang bersangkutan. Kewajiban syukur atas nikmat
harta harus dibuktikan dengan cara menggunakan harta tersebut sebagai sarana
ibadah kepada Allah SWT.
Pelaksanaan
tugas ibadah kepada Allah tidak hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah fisik
saja, tetapi juga harus diwujudkan dalam bentuk ibadah harta. Investasi amal
yang tidak akan berhenti pahalanya, walaupun yang bersangkutan sudah meninggal
dunia adalah harta yang disumbangkan untuk amal jariah. Ibadah maliah atau
ibadah dengan harta termasuk bagian penting dalam syari’at Islam.
Ibadah maliyah, seperti zakat, dll termasuk
ibadah ijtima’i, yaitu ibadah yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi kebutuhan
social kemasyarakatan. Ibadah maliyah memiliki
fungsi sosial, dengan memberikan zakat
atau infaq dan lainnya kepada fakir miskin bisa menjaga keseimbangan
hidup atau kesenjangan dan menghindari ketidak adilan sosial. Memupuk rasa
kasih sayang dan kecintaan orang kaya (aghniya) kepada yang tidak memiliki harta
sehingga terjalin keterpaduan antara orang miskin dan orang kaya, karena kalau
telah terjadi keterpaduan diantara keduanya, mudah-mudahanan bisa
mengantisipasi dan akan mengikis segala bentuk kejahatan yang bisa terjadi
dalam masyarakat akibat kesenjangan dan ketidakadilan sosial.
Zakat merupakan salah
satu sendi di antara sendi-sendi Islam lainnya. Ia (zakat) merupakan ibadah
fardiyah yang berimplikasi luas dalam kehidupan sosial (jama’iyah),
ekonomi (iqtishadiyah), politik (siyasiyat), budaya (tsaqafah),
pendidikan (tarbiyah) dan aspek kehidupan lainnya. Zakat merefleksikan
nilai spiritual dan nilai charity (kedermawanan) atau filantropi dalam
Islam. Sejumlah ayat bertebaran dalam berbagai surat dalam al Qur’an dan hadits Nabi ditemukan
anjuran tentang pentingnya filantropi terhadap sesama manusia, di antara QS.
30:39; QS. 9: 103; QS. 18:18. dalam al
Qur’an surat at Taubah [9]: 103, misalnya secara tegas dikatakan bahwa:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ayat tersebut mengandung spirit filantropi dalam Islam. Dua nilai
penting yang terkandung dalam spirit ayat filantropi di atas adalah bahwa zakat
dan selalu mengandung dimensi ganda. Dimensi kesalehan individual tercermin
dalam tazkiyat an nufus dalam zakat (penyucian dan pembersihan diri dan
harta) pada satu sisi, dan refleksi kesalehan sosial pada sisi lain seperti
empati dan solidaritas pada sisi yang lain. Zakat sebagai media tazkiyat an
nufus dalam konteks di atas diungkapkan dalam dua istilah yaitu
membersihkan dan menyucikan. Membersihkan dalam konteks ayat tersebut
mengandung makna bahwa zakat itu membersihkan muzakki (orang yang mengeluarkan
zakat) dari sifat kikir dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.
Sungguhpun cinta terhadap harta merupakan tabiat manusia yang bersifat inborn
sebagaimana digambarkan dalam QS. Ali Imran [3]:14.
“Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan pada
apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik
(surga).”
Sedangkan istilah menyucikan dalam ayat di atas
mengandung makna bahwa zakat memiliki satu kekuatan transformatif dalam
menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati muzakki dan harta benda yang mereka kembangkan menjadi suci
lantaran terbayar-bayarnya hak-hak orang lain yang melekat di dalamnya.
Nilai filantropi zakat lainnya adalah kepedulian dan
keadilan sosial kepada sesama manusia, terutama kepada mereka (asnaf) yang
menjadi sasaran (target group) filantropi dalam Islam, yaitu orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.
Filantropisme zakat dalam dinamika dan perkembangannya
secara historis memainkan peran ganda, sebagai instrumen pelaksanaan kewajiban
ritual yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan individual yang bersifat
vertikal (hablun min Allah) dalam rangka tazkiyat an nufus
sebagaimana dikatakan di atas pada satu sisi, juga sebagai instrumen ekonomi
transformatif, yaitu dalam memberdayakan ekonomi dan pemecahan permasalahan
kemiskinan umat pada satu sisi yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar